Entah sudah berapa jam aku duduk,. Terpekur, bengong, menatap pantulan cahaya putih di layar monitor. Berulang kali kucoba membuat judul dan lead, tapi berulang kali pula tombol ‘delete’ yang kutekan. Alhasil, paragraf pertamapun tak kunjung ada di lembaran putih kertas kerjaku. Malam ini blank..
Lukisan di dinding-dinding yang terpendar lampu, seolah menatap sinis, mengejek ketololanku. Bahkan gambar Einstein yang ku pajang beberapa tahun lalu seolah ikut menyeringai, beradu pandang,
seakan memprovokasi jajaran poster-poster tua dibelakangku untuk ikut-ikutan mengulitiku habis-habisan, karena aku memang belum juga berhasil menyelesaikan pekerjaan terpenting hari ini; menyusun buah pikiran yang masih membelit diantara bejibun file, tumpukan kertas, buku, dan ide-ide yang bertarung berjumpalitan di rongga kepalaku.
“ Hei pak tua!! jangan sinis seperti itulah padaku. Aku sudah bisa membayangkan alur ini, tapi masih begitu sulit mengurainya kedalam sebuah tulisan,” caciku dalam hati tatkala bayangan senyum khasnya berkelebat sepintas di mataku.
Aku mahfum betul bahwa foto fisikawan kesohor yang terpampang di depanku itu tak hendak menghardikku, apalagi mengejekku. Tapi kebuntuan saat ini sepertinya membuat pose pak tua yang terpampang di depanku seolah hendak memuntahkan cibiran-cibiran ala tuanya, karena memang sejauh ini tak juga beranjak tanganku dari tombol-tombol komputer.
Sekian lama otakku bergulat dengan kosong, tiba-tiba terkantuklah pada secangkir kopi.. Hmmm secangkir larutan hitam pekat itu mungkin saja bisa membuatku lepas dari belenggu ketololan, mencairkan sumbatan-sumbatan yang mengumpal di otak.
Sengaja aku kurangi takaran gula pada kopi hitamku malam ini. Pahit, persis,.. itu yang kurasakan di ujung lidahku. Kuhirup dalam-dalam, ada yang berbeda kala aku moncong hidungku menyentuh kepulan asap yang keluar dari cangkir, aroma yang pekat, sepekat malam yang garang ini.
Walau tak merubah keadaan, tapi paling tidak secangkir kopi menjadi tambahan hiasan sekaligus hiburan tersendiri di meja kerjaku.
“Kenapa tak membuat tulisan tentang kopi saja…”
Ya..tentang kopi. Imajinasiku pun perlahan menyeruak…
Bubuk hitam yang hanya akan melarut jika panas. Ia akan bertambah nikmat bila diseduh dan diaduk bersama air panas. Butuh perjuangan tersendiri yang mungkin saja ia (-bubuk kopi) rasakan. Tapi Air yang panas tak harus dihindari, justru ia jadikan sarana untuk merubah dirinya menjadi barang yang sangat nikmat. Melalui air panas dan adukan (-yang ku simbolkan adalah kesulitan) ia bermetamorfosa menjadi lebih baik. Pantas jika Dee – Dewi lestari menuliskan tentang kopi secara begitu sempurna.
Kopi memang kopi, kita tidak bisa menyamakan rasa kopi sama dengan rasa hasil tumbukan biji jagung yang dibakar, atau mensejajarkan rasa kopi dengan rasa gula. Dan Sesempurna apapun kopi, ya tetap kopi, ia punya sisi pahit yang tak bisa dipisahkan dari rasa manis. Rasa pahitnya senantiasa saling mengisi dan saling melengkapi dengan rasa manis gula. seolah ingin mengatakan, seindah apapun peziarahan kita, kita tak bakal lepas dari manis dan pahit, bahagia dan sedih, tawa dan menangis…….
Menikmati harumnya kopi harus sabar.. tak bisa habis tuang langsung minum. Butuh waktu untuk menikmati sedapnya kopi.. biarkan ampasnya turun mengendap ke dasar cangkir. Ketika telah mengendap, biarkan!! jangan diaduk lagi. Biarlah endapan itu mengisi keharuman seluruh ruang cangkir melalui caranya sendiri, niscaya aroma kopi tak hanya berada di permukaan. Kurasa seperti itulah kualitas hidup, butuh kemampuan untuk mengedapkan diri atas semua yang kita terima dalam hidup. Biarkan endapan-endapan itu memainkan perannya sendiri untuk melengkapi nikmatnya kehidupan kita, agar hidup bisa benar-benar mendekati sempurna, tak mengambang dipermukaan semata.
Seperti yang kukatakan tadi, secangkir kopi yang kuseduh kini menjadi pemandangan terindah di mejaku. Bagaimana tidak indah? Seteguk saja aku meminumnya, mampu menghadirkan inspirasi. Aha, suatu cairan yang benar-benar ajaib. Ada banyak hal yang bisa ku pelajari di sini. Hitam, putih, bahkan abu-abu pun bisa ku buat di cangkir ini. Tinggal aku memutuskan untuk memilih jenis kopi apa yang akan ku nikmati. Ketika aku salah memiilih jenis kopinya, jelas akan mempengaruhi aroma yang akan ku nikmati.
Selanjutnya aku merasa kopi itu lebih mirip seperti isi kehidupan. Sementara status sosial, pekerjaan, uang dan posisi dalam masyarakat adalah cangkir atau wadahnya saja. Cangkir tak lebih sekedar alat untuk memegang dan menampung kopi (kehidupan) yang kita pilih. Sebagus apapun cangkir yang kita pegang tidak bisa mendefinisikan atau bahkan mengubah aroma dari kopi itu sendiri.
Konyolnya, acap kali kita hanya berkonsentrasi pada apa "bentuk" cangkir yang pantas dipegang, sehingga kita lalai untuk menikmati aroma kopi yang kita buat. sibuk memilih cangkir-cangkir yang terbaik, sementara melupakan bahwa kopi yang kita buat telah menjadi basi karena tak cepat diminum. kita selalu saja mengutak atik apa-apa saja yang pantas untuk kita pegang, bukan bagaimana kita menikmatinya. Padahal Pak Ridun atau mbah Wardi misalnya, tetap bisa menikmati aroma kopi seduhannya di pagi hari, walau hanya dengan cangkir besi yang sudah usang.
Ya..mereka yang berbahagia tidaklah harus melulu memiliki apa-apa yang terbaik dari segalanya. Mereka yang berbahagia adalah mereka yang bisa menikmati apa yang mereka miliki dan tahu betul apa yang mereka nikmati..
Soal kopi tumpah.. itu sudah wajar dan umum… toh isinya yang masih setengah tak lantas ikut dibuang. tumpahan kopi sepertinya menyadarkanku, bahwa sebanyak apapun yang lepas dan hilang dari genggaman kita, pasti selalu ada sisa - harapan untuk tetap kita nikmati.. dan tak pernah aku dengar, kopi yang tumpah ke tanah dirutuki secara berlebihan oleh penikmatnya selama seharian penuh, semua dianggap biasa saja. Pasti ada keterkejutan karena hilang, tetapi tak lebih dari 2 menit.
Tegukan terakhir dari secangkir ini nyaris seiring dengan gema tarhim yang meluncur dari corong mushola. lantunan puja puji doa menjelang subuh seolah memenjewerku bahwa yang telah memberi kenikmatan, bukanlah kopi semata, tapi Dia… karena atas karunia-Nya lah juga aku masih bisa mencecap nikmatnya si kopi.
Semoga besok malam, secangkir kopi tak bosan menemaniku di meja kerja. Dan apa-apa yang tersirat didalamnya menjadikan pembelajaran untukku melangkah ke depan tanpa harus menepi. Amiin
(Dan spesial, untuk wanita cantik penyeduh kopi untukku di setiap pagi di rumah,.. terima kasih atas seduhan kopinya.. Puncak rindu yang paling dahsyat adalah ketika dua orang tak saling sapa, tapi diam-diam saling mendoakan… semoga kita saling mendoakan ya Nok. Karena hal itu merupakan puncak komitmen kita terhadap cinta dan kesetiaan..Ahaaaiiii......- katanya Pak Djiwotedjo sih gitu hehehehe...)
Belum ada tanggapan untuk "BOLEH DONG SESEKALI BERGURU PADA SI KOPI.."
Post a Comment