
Siang itu emosi membuncah... urat wajahnya mengeras, kedua rahang mengatup, menatap penuh murka yang menyala-nyala. Nafasnya panas sesak, menahan luapan amarah di dada yang berdegup tak karuan. “B********* tuh Si *******, Pengkhianat dia dan Kamu juga sebagai istri, mustinya tau diri dong gimana bersikap.. dan bla-bla-bla!!!” Umpatan yang mewakili segala rasanya.
Nanar matanya mengiris pandangan sang istri. Tangis anak dan bulir air mata pendamping hidupnya itu tak menjadi peredam gelora amarahnya. Benar-benar kondisi tak ideal yang bisa saja menyulut bara dengan orang-orang disekitarnya.
Kami tahu, siang itu dunia serasa runtuh. Dan bagi si murka -mantan bos saya, saat itu menjadi vonis terberatnya.- Menjadi Sang Kalah dalam perebutan kursi parlemen daerah. Saya dan kawan-kawan yang tergabung dalam tim suksesnya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana ia memperjuangkan semuanya dari titik terendah. Sekian banyak yang dilakukannya dengan kekuatan hati dan dengan sekian resiko yang bakal ditanggungnya.
Kini, ia harus menjadi Pesakitan dan mungkin yang lebih tragis lagi proyek-proyek d ibidang property yang ia geluti selama ini, tahun depan akan banyak mendapat ganjalan dari pihak penguasa.
Itulah secuil gambaran ketika kami mendorongnya untuk menjadi salah satu calon Anggota Legislatif tingkat kota tahun 2009- dan nyatanya gagal. Timpukan batu besar seoalah menghujami langkah kegagalan kami. Olok-olokpun nyaris menjadi sarapan kami selama hampir sebulan.- karena memang kami memulainya dengan cara yang salah.
Beberapa minggu kemudian saya memutuskan tak lagi mengabdi pada kawan saya itu, bukan karena usahanya kolaps. Tapi – menurutku- lebih karena ia tak bisa menerima kekalahan, cenderung menyalahkan orang-orang yang ada disekitarnya, sehingga susah bagiku berkembang bersamanya. Akhirnya kamipun mengambil jarak yang cukup berjauhan. Walau masih dalam satu haluan, sama-sama masih berada dalam satu organisasi kepemudaan, underbouw salah satu ormas besar di Indonesia.
Syahdan.. hampir dua tahun kemudian, tanpa sengaja saya bertemu dengannya di salah satu Kafe di Semarang. Sudah pasti kikuk dan terbersit perasaan sungkan kala bertemu dengan sang kalah tadi. Dengan basa-basi yang kaku, pembuka obrolan yang awalnya terasa menyesakkan, bergulir dengan sendirinya lantas akhirnya menjadi cair.
Panjang lebar kami bercerita tentang perjalanan kami masing-masing pasca kegagalan agenda politik yang kandas tersebut. Kawan saya tetap pada idealismenya, tak mau menurunkan standarnya sendiri. Tetap berada di luar kekuasaan, akan selalu berpikir “nyentrik” dalam berpolitik.;
”emang sih kalah itu selalu menyakitkan, tapi kalo kita sudah bekerja keras meraih kejayaan, rasanya tak perlu larut dlm duka berkepanjangan, toh kita sudah ikhtiar, Tuhanlah yang menentukan… yg penting bgmn kita menyikapinya….. Broer, soal rezeki, ono dino ono upo.
Oya Suwun Broer saat itu udah banyak menemani dan saya belum bisa ngasih apa-apa…” Demikian kalimat yang meluncur dari mulutnya saat dia hendak beranjak dari kafe tersebut
Ada kesan berbeda saat itu - sekian lama aku amati, ia memang telah berubah, bermetamorfosa menjadi pribadi yang jauh lebih lembut, matang, berani menerima konsekuensi sebuah pilihan, dan pasrahnya kepada kehendak Tuhanpun meningkat.
Dan yang patut saya acungi jempol, dia tetap membuka pintu rumahnya pada orang-orang macam saya – Pecundang yang saat itu memilih lari dan meninggalkannya – saat bertandang di istana kecilnya. Situasi batin yang tak mudah tentunya, - mau menerima tim yang dulu pernah gagal mengusungnya dan lari dari tekanan. Tapi ucapan si kawan terbukti benar, saya dan beberapa teman masih disambanginya hangat, baik ketika ketemu di jalan maupun saat kami beberapa kali mampir ke rumahnya, ngobrol-ngobrol banyak hal tentang pemerintahan, isu-isu politik lokal, sampai obrolan khusus pria - seputar rencana istri muda.. hahahahaha
Alhasil usaha yang di jalani kini cukup melesat daripada sebelumnya, dengan merubah cara pandangnya tentang "menikmati dan mensiasati kegagalan" serta kemauan untuk membuka kerjasama dengan mereka yang dulu pernah seiring dengannya. Plus dengan tetap pada pilihan untuk tak tergantung dengan pemerintah, pilihan itu benar-benar ia terapkan, “oposan abis ente bang”- candaku suatu kali.
Baginya, Kalau mampu menaklukkan dunia dengan jerih payah sendiri, kenapa harus tergoda memiliki simulator-simulator di dunia lain ( dia tetap menganggap pemerintah sebagai dunia lain) untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Kawan saya – Si Gagal kini sudah tak lagi se-kota dengan saya, demikian juga saya tak tertarik untuk menggeluti usaha property seperti sediakala, intensitas pertemuan diantara kami pun sudah teramat jarang. Namun saya tetap menyisakan decak kagum pada sosok kawan tersebut. Dia dengan segala kekurangannya mampu memahami bahwa kegagalan tak harus diratapi terus menerus hingga menguras energi, terjebak untuk menyalahkan keadaan, lebih baik melupakannya, dan segera bangkit untuk mengejar ketertinggalan
Betapa indah perjalanan jika kegagalan tak divonis sebagai vonis mati. Melainkan sekadar tempat pemberhentian sementara dari peziarahan panjang. normal rasanya jika sesekali terantuk, terjatuh, terjerembab saat menapaki hamparan kerikil dan bebatuan besar-
Dan dari si gagal tersebut, saya belajar, tak perlu menjadi seorang presiden atau profesor untuk menunjukkan kebesaran jiwa, membuka pintu maaf kepada siapapun yang mengetuknya. Menjadikan dirinya besar dengan membuka maaf yang tanpa syarat dan dengan tulus hati.
Semoga bermanfaat………….
Insipirasi tulisan dari Status Facebook temenku – Nyonya Dody P
thanks insipirasinya bu....
Belum ada tanggapan untuk "GAGAL ITU MEMANG PAHIT BROER, TAPI…."
Post a Comment