Semua sudah berubah bro” demikian celetuk teman saya di ruang kerjanya..
“Pada ujungya rutinitas membuat saya semakin sulit memahami dan menemukan siapa sejatinya diri ku sendiri, apalagi untuk memahami istriku dan anak-anakku.. sementara kian waktu aku semakin menjadi penakut huffffh…..karier membawaku pada puncak kebahagian. Namun…. Disatu sisi aku kehilangan kebahagiaan yang lain, mungkin benar kata orang, bahagia tak lagi akan terasa, tak kala unsur-unsur pembentuk kebahagiaan satu per satu sirna, pudar bersama putaran waktu. Keindahan berubah menjadi nista. Tak ada lagi yang tercurah untuk dan atas nama cinta… Jujur saya malu sama diri ku sendiri bro, malu pada ente dan kawan-kawan… dan malu saat sujud di hadapan Gusti Allah… ternyata aku tidak mampu menjadi Imam yang baik..”
Demikian curhatnya sambil menatap kereta api yang melintas dari jendela ruangan kerjanya yang eksotis di lantai 3.
--------------------------------------@@@@@---------------------------------------------
Kisah ini bukan kisah yang luar biasa, bisa juga terjadi pada kita, dan kalau saya boleh berpendapat, ini tampaknya memang bersifat pengalaman pribadi. Lebih tepatnya pengalaman pribadi seorang kawan yang telah mengalami pergantian cara pandang dalam melihat dan merasakan apa itu kebahagiaan.
Cara pandang dan seni menikmati kebahagiaan yang mungkin belum bisa saya rasakan seandainya saya dalam posisi sama seperti kawan saya. Dan bahkan mungkin saya tak setegar itu ketika berada di dalam situasi yang tak memungkinkan seperti dia.
Namun ilustrasi nyata tadi, bagi saya bukan sekedar sampah dari jujurnya pengakuan kelemahan teman saya. Namun saya anggap itu adalah berlian berharga yang tengah saya cari-cari saat proses pasca sekolah dulu. “kenapa kebahagiaan hakiki terkadang tak kunjung datang, saat materi dan karier sebenarnya merangkak menuju puncak”
Disamping itu juga saya anggap sebagai sebuah fenomena yang mewakili kenyataan kemutahiran kita yang kadang gagu dan tergagap-gagap ketika menyentuh pintu kebahagiaan hidup.
Saya seperti kawan saya tadi, satu dari sekian anak-anak kampong yang berada di track pendidikan formal yang benar, atau mungkin bisa dikatakan berhasil secara materiil dan karier karena dari hasil-hasil pendidikan. Walau mungkin pekerjaan dan penghasilan tidak se ideal cita-cita waktu sekolah dulu. Tapi saya merasa apa yang saya dapatkan dari meniti karier sudah lebih dari cukup untuk dirasakan.
Memang perlu proses panjang untuk merasakan cukup. Dan perlu orang-orang berkarakter kuat untuk menjadi pengendali diri saya sebagai laki-laki, dalam hal ini adalah orang tua, istri dan mungkin anak. Artinya orang-orang yang berada disamping sayalah yang pertama kali merasakan asam manis hasil peras keringat saya. Dan sekaligus menjadi pengendali saya untuk tetap menjadi pekerja yang merdeka.
Mungkin situasi ini berbeda dengan apa yang dialami teman saya, karier membuat teman saya lepas kendali untuk sekedar berbagi hasil dengan teman hidupnya;. Ia seolah kalah dengan perintah kerjaan dibanding perintah Tuhannya. Yakni menjadi Imam di tengah keluarga.
Imam dalam alur pikir saya bukan berarti diterjemahkan sebagai sosok yang selalu harus di depan, tetapi lebih sebagai figur yang menjaga, yang memberi contoh tauladan serta menjadi pendorong dan penyemangat orang-orang yang dipimpinnya. Perkara akan berada di depan atau disamping, itu soal teknis semata.
Dan pada titik itu saya harus banyak-banyak mengucapkan terima kasih kepada pelajaran-pelajaran model kampungan yang pernah saya terima waktu keci dulul. Kampung yang menawarkan kehidupan ekonomi yang pas-pasan, karena bapak dan beberapa tetangga hanya berprofesi pegawai negeri diawal tahun 80 an, guru, dan sebagiannya lagi adalah buruh pabrik tekstil. kehidupan yang banyak menuntut kami untuk banyak-banyak berpuasa dan kemampuan untuk mengendalikan diri. Bahkan rona kehidupan yang pas-pasan, pernah membuat saya dan beberapa kawan, anak-anak Guru dan PNS kecil lain, waktu kelas 4 SD nekat menjadi penghusaha kecil, sebagai pengantar koran dengan sepeda BMX. Walau kemudian ditentang ayah, dan hasil ngeloper lebih banyak kami habiskan untuk membeli dan memelihara burung merpati maupun ayam, ketimbang membantu ekonomi keluarga.
Dari serba pas-pasan pula, kami menjadi dekat dengan figure simbah, dengan para budhe dan pak lik.. bahkan ibu karena saking dekatnya dengan keluarga besar bapak, waktu kelahiran adik-adik saya, kejatuhan bantuan yang luar biasa dari keluarga besar bapak yang bisa untuk makan 3 bulan, sehingga gaji-gaji bapak bisa untuk nutup hutang di warung-warung.. (Sebab PNS masa lalu lazimnya dianggap pilihan pekerjaan yang siap melarat namun mempunyai kehidupan yang lurus, sehingga status sosial PNS dianggap sebagai kasta yang hebat kedua setelah guru – karena kuatnya memilih bertahan dalam kekurangannya).
Dari semua itu, memang saya tidak bisa seratus persen mengerti apa itu paseduluran batih, tetapi persaudaraan batih membuat saya memahami adanya kontrol sosial dalam ikatan rumah tangga. Itu yang sekarang lepas. Bahwa perkawinan 2 orang bukan semata antara 1 individu dengan 1 individu yang lain.. tetapi bertemunya antar ke dua keluarga besar.
Mungkin teman saya dulu khilaf dalam mengakhiri kehidupan rumah tangganya.. maka ketika putus kata cerai, sangat enteng dia ucapkan. Mungkin juga pada saat itu sudut yang dia ambil, hanya sebatas sudut pandang antara dirinya dan istrinya tanpa mengunakan kacamata keluarga besar. Dan kini prosesnya kian memasuki kata rumit.
---------------------@@@@@----------------------
“aku rindu kampong yang dulu bro, kampong yang hanya aku nikmati tak lebih dari dua tahun.. “ Ungkapnya menerawang menembus kaca jendela, lepas menerawang tautan mega di langit yang kian menguning.
“kalau memang harus bercerai.. cerailah dengan baik-baik.. jangan sampai keluargamu terbawa-bawa untuk saling memusuhi. Dan kuharap pasca ini, ente menata kembali semuanya, walau dari nol lagi . Pergaulan suami istri itu harus dilakukan dengan cara yang baik, saling ikhlas dan saling ridho…. hehehehe….” Gurauku sembari mendaratkan tempukan empuk dipundaknya, sebelum mengakhiri pertemuan ku dengan sobat saya ini.
Di luar, diatas supra hijau dekil yang biasa saya jadikan tunggangan menyusuri jalan raya, saya memanjatkan doa – dengan sepenuh rasa dan sejuta harap – semoga saya tak perlu kehilangan apa-apa untuk menemukan makna kata bahagia yang sederhana itu. Terima kasih, Broth..
Belum ada tanggapan untuk "AKU RINDU PADA KAMPONG ITU.."
Post a Comment