Aroma segarnya kopi menyengat dari cangkir yang kuhirup. Sebagian mengasap keatas berbaur bersama asap rokok yang mengepul memenuhi ruang tamu, sebelah beranda rumah De War. Tempat yangmana sejam lalu aku bersama terlibat dalam obrolan ngalor-ngidul dengan De War
Dingin menusuk, menyebar sehabis hujan yang turun selepas maghrib tadi. Membuat larut kian hanyut oleh sepi. Hanya serangga malam yang masih mengiringi perjalanan sang waktu yang berjalan seakan melambat. Selebihnya, Mungkin
hanya aku dan De War yang masih menghidupi suasana di dusun itu. Yang lain, sudah tenggelam dalam tidurnya. Apalagi kedai minuman Yu Sri yang biasanya buka sampai larut, tutup lebih awal, karena menunggui
simaknya yang tergeletak di Puskesmas desa karena jatuh dikamar mandi.
“Besok aku pulang De.. apa ada pesan De War buat orang rumah”.. kataku memecah hening beberapa saat lalu.
De War hanya diam, mata tuanya menatap atap rumah tanpa plafon, dan mulut yang sudah keriput menyeburkan asap rokok kretek yang dihisapnya. seakan kosong. Tapi tidak, De War pasti tengah memikirkan apa yang akan di ungkapkannya. Aku tau tahu betul De War, kakak pertama ayahku itu bukan orang yang grusa-grusu, setiap apa yang akan diucapkan maupun yang dilakukan senantiasa dipikirkannya masak-masak. Ia memang jadi panutan adik-adiknya, termasuk juga almarhum Ayah. Beliau Rujukan hidup untuk memecahkan persoalan membelit keluarga besar kami. Pun tempat ibu berkeluh kesah.
“jaga dirimu baik-baik, jalankan saja tugas mu selurus mungkin.. ndak usah neko-neko dengan ambisimu” ujarnya sambil melirikku.
“ akh.. ”
“Hei.. Pekerjaanmu adalah kemuliaanmu, kau guru..” tukasnya cepat.
“jangan kau anggap enteng Profesimu” lanjutnya “menurutmu mungkin kecil tapi tidak untuk orang lain.. kau anggap jabatanmu kecil karena kau selalu melihat keatas. Sekali-kali menunduklah kebawah.. Lihat mereka yang di bawahmu dengan hati.. mereka yang jadi tukang sapu di kantormu, lihat para tukang bakso yang biasa melintas di depan kantormu.. Tanya mereka..” sambungnya sembari melotot kepadaku..
Aku terdiam.. bukan karena tak siap melihat ledakan-ledakan De War. Tapi entah kenapa aku sering terbius dengan ledakan-ledakan itu.
De War memang dikenal memiliki tempramen meledak-ledak didalam kehalusannya. Lelaki itu pernah jadi Politikus Parpol jaman orde baru seumur jagung. Ia mungkin seangkatan dengan Soe Hok Gie, seandainya kesempatan kuliah dari kakek diambilnya saat itu. Ia malah memilih mendarat di Korp Dakwah suatu persyarikatan, yang pada akhirnya mendaratkan ia di desa ini. Ia lelaki tua yang kenyang asam garam kehidupan, pasang surutnya sudah diarunginya. Hawa panas dan dinginnya kehidupan sudah ia rasakan, maka pantas kalau ia mudah meletup ketika ketidak lurusan didapatinya.
“De War jangan keburu marah sama saya De.. di kantor, Jabatan ku hanya pendidik golongan kecil dan bergaji kecil pula, aku harus melanjutkan pendidikan lagi agar aku bisa memperoleh promosi jabatan.. susah De kalau hanya ijazah S1, sementara tabunganku tak cukup. Maka tanah milik bapak harus ku jual, nanti gampang setelah kedudukanku mantab aku membelinya kembali”
De War terkekeh kopi yang mulai mendingin direguknya, bibirnya mendecak seperti merasakan nikmat tiada tara.
“Sudah separah itukah Indonesia??, tanah yang dulu di pertahankan Diponegoro.. di jaga kemuliaannya oleh Jenderal Soedirman, di bela mati-matian oleh simbah-simbah mu dulu.. ketika merdeka ia menerkam bangsanya sendiri.. “
Ia menggelengkan kepalanya
“tapi itu umumnya De., Susah untuk tidak ikut arus.. siapa yang menentang arus, mati dia .., maka aku ikuti alur saja De..” kataku
Pembicaraan kami terhenti, waktu seolah memberi kami jeda. Bibir laki-laki tua itu terkatup.. tarikan nafasnya begitu terasa menekan emosi yang menggumpal di dadanya yang menua.. tapi di cobanya tersenyum ketika menatapku, tangannya mendarat empuk di pundakku.
“kau ikut arus, karena kau menghamba tapi kau tidak mau berpikir merdeka, tugas mu mulia sebenarnya.. sebagai abdi Negara.. pencerdas anak-anak bangsa.. tapi kau penakut.. takut kehilangan jabatan dan pekerjaanmu ketika kau berkata tidak pada keadaan.. padahal aku yakin, Negara ini tidak sekalipun memiliki hak untuk memberhentikan mu dari pekerjaanmu hanya karena kau berkata tidak”
Jengkel sebenarnya aku mendengar De War berkicau tentang fatsoen Negara.. bagiku etika politik yang dipaparkan si De adalah masalalu.. hanya sejarah. Perjalanan silam yang hanya akan menjadi batu terjal penghalang langkah.. ah benar-benar kolot orang ini. Mungkin saja tanah milik bapak, tidak diamanatkan kepadanya.. tak sudi aku mampir ke rumahnya barang sejenakpun…
“Le… kau boleh saja menatap masa depan sejauh anganmu.. Islam agamamu tidak sekalipun melarangmu memiliki kekuasaan, jabatan atau kekayaan. Tapi ketika kekuasaan yang kau raih tidak memancarkan sinar kenabian.. maka sesungguhnya kekuasaan mu itu tak pernah memberi mu kemuliaan apapun..” De War berhenti sejenak, menata emosi nya agar tak meledak.
" De War ikhlas tanah bapak mu kau jual untuk biaya pendidikan.. De War malah senang.. dan tak akan menghalagi, sebab tanah yang dititipkan menjadi barang bermakna.. tapi kau harus mampu bertanggung jawab pada keilmuanmu, pada gelar yang kau sandang kelak.. kau boleh bertitel Doktor atau Professor… tapi pertanggungjawabkan ke profesoran mu kepada Umat dan kepada Tuhanmu.. sangat dangkal dalam pandangan De War kalau Ijazahmu hanya untuk mencari jabatan, dan untuk menipu bangsa ini.. Tuhan ora sare le.. Pendidikan itu meninggikan dan memuliakanmu.. tapi itu juga dapat menjatuhkanmu pada kehinaan dihadapan Tuhan dan Manusia, ketika kau tak mempertanggungjawabkan keilmuanmu. Ini saya katakan bukan untuk De War.. tapi untuk kebahagiaan dan kemuliaan generasi sesudahmu..”
Aku seakan terpaku bisu. Tak mampu menjawab Si De yang berbicara dengan intonasi halus, tanpa meledak-ledak seperti tadi..
“ Ya, Pendidikan, ijazah, gelar kesarjanaan adalah kemuliaan.. tapi itu juga menjerumuskan pada kehinaan ketika hanya untuk mencari jabatan, pendidikan adalah peninggalan orang-orang besar masalalu yang tak pantas aku kotori dengan nafsu berkuasa maupun nafsu ingin kaya…”
Tertundukku dalam-dalam, lantai tempat kududuki seolah ikut bergetar menyahut degupan kencang jantungku mendengar kalimat-kalimat De War barusan..
Ku buka tas punggung tempat ku letakkan sertifikat tanah milik bapakku..
“Simpanlah kembali sertifikat ini De, biarlah hasil panen tanah ini tetap menghidupi masjid dan pesantren Kyai Dahlan seperti yang lalu-lalu, biarlah hasil-hasil panen dari tanah itu yang nanti melantikku sebagai Sarjana S2 maupun Profesor di hadapan Tuhan kelak…” kataku menahan haru
Belum ada tanggapan untuk "Sertifikat itu dan Sarjana Tuhan.."
Post a Comment