Taufik Ismail, penyair besar yang pernah mengenyam pendidikan di Pekalongan, pernah menyentil masa depan kita dengan sangat halus melalui puisi, “masa depan Indonesia bagaikan lampu 15 watt”. Suram dan tak banyak bisa diharapkan untuk cerah dan terang. Apalagi untuk sekedar menjadi mercusuar dunia. Tentu sangat jauh panggang dari api.
Boleh dan sah-sah saja kita berkilah, bahwa ungkapan pesimistik Pak Taufik sekedar kepedihan puitik karena kepujanggaannya menangkap berbagai macam ke karut marutan, serta keporak-porandaan sendi-sendi kebangsaan kita.
Namun mari kita lihat, Pemerintah dengan segenap perangkatnya yang bertipikal kurang gesit tapi mangas (untuk sedikit menghaluskan simbol kleptomaniak ), hukum yang lemahdan bergonjang-ganjing, ketimpangan sosial ekonomi, serta kemacetan kreativitas kebudayaan anak-anak negeri. Ditambah dengan semakin melemahnya daya hidup kaum jelata non PNS. Seakan membenarkan ungkapan penyair Angkatan 66 tersebut, bahwa memang masa depan negeri khatulistiwa yang lahir dari tangis, doa, airmata dan bahkan tumpahan darah pendahulunya, tak akan lebih dari lampu 15 watt.
Kalau saja masa depan bangsa ini dikiaskan dengan nyala 15 watt, pertanyaan muncul dalam benak saya“ kalau sebegitu suramnya masa depan bangsa ini, lha terus berapa watt kah masa depan dunia Pendidikan kita”?.
Akankah Pendidikan kita akan tetap cerah, dan menjadi sinar pencerah laksana mercusuar yang menjadi lentera di tengah kegelapan lautan. Jika demikian, sangat bersyukurlah saya, bahwa saya di perkenankan oleh Tuhan menjadi satu saksi dari sekian ratus juta manusia pemuda Indonesia, menyaksikan Pendidikan negeri ini menjadi suluh bagi kegelapan bangsa.
Atau jangan-jangan malah ikutan meredup, bersatu bersama kegelapan??
Mengambil data perkembangan pendidikan dari segi fisik, dari pusat informatika balitbang Depdikbud tahun 1999, secara kuantitatif selama 3 dasawarsa , pendidikan kita mengalami lonjakan sebesar 300 %. Pada tahun 1965 jumlah SD pada waktu itu hanya sekitar 53.233 dengan jumlah murid 11.577.943 dan guru sebanyak 274.545. tetapi kemudian secara pesat meningkat menjadi 150.921 SD, 25.667.578 murid serta 1.115.004 guru di akhir tahun 90 an. sebuah kesungguhan yang patut diberi apresiasi tentunya
Secara kuantitatif angka tersebut tentunya dapat membuat kita bernafas lega dan tersenyum bangga, bahwa kita memang bangsa yang dibekali naluri sebagai bangsa pembelajar. Namun apakah kuantitas semata sudah cukup untuk membangun bangsa yang bener-bener bangsa?
Apakah sekuantitatif diatas menunjukkan bahwa pendidikan yang telah kita selenggarakan sekarang telah memasuki era pencerahan? apakah tujuan pendidikannya yang telah dijalankan telah berjalan diatas rel akhir pendidikan yang tepat?. mungkin untuk sedikit rujukan, mari buka gambaran pengertian pendidikan yang berjalan linier seperti yang digambarkan dalam pasase encyclopedia britanica 2002, deluxe program, yang memberikan gambaran kepada kita pada proses pendidikan yang normative dengan gambaran sebagai berikut:
“Pendidikan dapat dipahami sebagai penyebaran nilai-nilai dan perbendaharaan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Dalam pengertian ini Pendidikan memiliki makna yang sejajar dengan apa yang oleh ilmuwan sosial disebut pembudayaan. ……… Pendidikan diarahkan untuk membimbing mereka dalam mempelajari suatu kebudayaan (ilmu pengetahuan dll), membentuk tingkah laku mereka sesuai dengan cara-cara yang di kehendaki bersama serta menuntun mereka hingga akhirnya dapat berperan dalam masyarakat.”
Tentu tak akan menjadi persoalan jika perjalanan pendidikan kita berjalan linier seperti di ungkapkan pasase diatas, dan mudah diatasi apabila muncul persoalan, karena hanya berkaitan dengan kendala teknis semata. Namun sayangnya realitas berkata lain. Sekolah dengan seperangkat gurunya yang sekarang telah di gaji tunai, tidak serta merta hadir secara linier. Banyak campur tangan manusia gaib yang cenderung ingin memisahkan dunia pendidikan sebagai sarana pembudayaan serta tulang punggung peradaban masa depan, sekedar menjadi gincu pemanis laporan aktivitas kekuasaan.
Hal ini memang dapat dimahfumi, dunia pendidikan bukanlah ranah hampa yang terpisah dari dunia lainnya, ada keterikatan yang tak kasat mata antara pendidikan sebagai mata rantai utama penghubung satu dunia ke berbagai hal kehidupan. Pendidikan dalam konteks keilmuan membawa pesan historis kultural masa lalu sebagai sebuah bangsa, dengan kenyataan sosial politik ekonomi dan track kekuasaan yang acap kali mempengaruhi akan kemana wajah bangsa ini bakal berkiblat di masa kini maupun masa mendatang.
Sedikit melongok kalimat diatas tadi, tak aneh apabila ketimpangan pendidikan di tengah masyarakat bermunculan. Yang mungkin menonjol adalah mulai berbanding terbaliknya out put pendidikan, dengan kualifikasi pemberdayaan potensi-potensi yang ada dimasyarakat (dengan kata lain, De Potter mengatakan, di negara berkembang ilmu yang didapat disekolah dulu,ternyata hanya sebatas ilmu mati. Selepas dari bangku sekolah ia tak dapat digunakan untuk mengangkat potensi-potensi (ekoteksospolbud) masyarakat secara komunal), kesenjangan antara pendidikan kota dengan daerah pinggiran, ketimpangan kualitas pendidikan jawa dan luar jawa. Serta beda kualitas layanan pendidikan antara si kaya dengan si kere. Belum lagi menyoal bagaimana out put pendidikan yang pada akhir-akhir ini menjadi sarana stratifikasi sosial dalam penerimaan lapangan kerja, (seperti idiom yang muncul belakangan “ yang merasa jebolan S1 keatas.. monggo jadi Kuli Negara, yang SMA monggo jadi Kuli Pabrik, yang SMP ke bawah, monggo jadi kuli angkut atau jadi Kuli di Negera lain).
Seandainya boleh mencari siapa biang keladi dari runyamnya pendidikan kita.. kalau saya boleh tuding hidung secara langsung. Saya ingin mengajak anda untuk buka sejarah, nenunjuk pada Lembaran Negara berbentuk INPRES SDN No 10 tahun 1973. Dalam pandangan saya yang bersetuju dengan pandangan budayawan, sosiawan dan pemerhati pendidikan, Kang Emirul Chaq A K melalui papernya Kembali ke Khittoh Pendidikan. Lewat Inpres tersebut, sekolah yang dahulu menjadi bagian dari milik masyarakat, yang di dalamnya mengeksplorasi betul potensi2 dan karakteristik-karakteristik kebudayaan masyarakat yang ada saat itu. Diambil alih semuanya oleh pemerintah dan dikelola secara birokratik bahkan menjurus pada sentralistik. Maka sejak itu, secara perlahan masyarakat yang sebelumnya menjadi penanggung jawab terselenggara kurikulum pendidikan dipangkas habis dan dibatasi, hanya sebatas “berpartisipasi” saja. Yang pada akhirnya malah membuat masyarakat menjadi “asing” dengan sekolah.
Sejurus dengan Pelaksanaan Inpres, terjadi pula perubahan Konsep Among (memomong) Seperti cita-cita Ki Hajar Dewantoro. secara perlahan namun revolusioner berubah menjadi konsep penekan, pemaksa dan pembunuhan karakteristik kemanusiaan anak didik . Idealisme Tut Wuri Andayani (celakalah yang menulisnya diganti dengan kalimat Handayani, hehehehe) menjelma menjadi ketakutan, keterpaksaan dan keacuhan fatalis dari orang yang di didik. yang parahnya ketakutan tersebut bukan ketakutan pada Tuhan, tapi Kepada sosok guru... ( Na'udzubillah min dalik betul, kalo sampai ada guru yang berani coba-coba menjadi sosok yang angker bin killer untuk ditakuti siswanya... hehehehehe)
Syahdan, Terbitnya undang-undang sistem pendidikan nasional dan model KTSP dalam proses pembelajaran walau masih belepotan sana sini, karena masih belum nampak ketulusan kita semua akan ruh suci pendidikan. Paling tidak, itu langkah awal untuk mampu mengembalikan fungsi dan tujuan serta kepemilikan sekolah kepada masyarakat kembali.
Negara, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, sepatutnya tak usah terlalu sok mem”pede"kan diri sebagai lembaga yang super duper keliwat pinter, yang sok super mengerti tetek bengek pendidikan. Akan lebih baik lembaga kementerian yang dihuni oleh mereka yang pasti adalah professor dan Doctor, dengan lapang dada memposisikan diri tak lebih sebagai lembaga penjamin keberlangsungan pendidikan, melalui tata kelola penghimpunan dan pemerataan tenaga pengajar, memberikan gaji serta pemberian anggaran dan fasilitas pendidikan semata agar berjalan seimbang.
Urusan kurikulum pendidikan biarkan sekolah dan masyarakat sendirilah yang merumuskannya menjadi model pembelajarannya. Maka format sekolah yang ada pasti selaras dengan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan geografis, geopolitis, sumber daya alam, nilai-nilai, potensi ekonomi daerahnya, kebudayaan, teknologi serta potensi-potensi hasil akulturasi sosial ekonomi dan budaya mereka sendiri. Biarkan masyarakat beserta elemen-elemen kependidikan beserta pelaku kebijakan daerah, bertanggung jawab dalam mengeksplor, potensi apa yang bisa dijadikan brainding model kependidikan di daerahnya.
Karena bagimanapun kekayaan dan potensi yang ada dan telah menjadi karakteristik daerahnya sendiri sangat mahal harganya untuk sekedar di ganti dengan selembar ijazah. Dari hasil eksplorasi yang membumi dan tanpa campur tangan pemerintah yang kadang usil. Sangat dimungkinkan lahirnya keterpaduan fungsi linier pendidikan, yang berjalan seimbang dengan apa yang dibutuhkan masyarakat untuk mengelola dan memajukan masyarakat itu sendiri. disamping tetap terjaminnya sekolah sebagai lumbung literature peradaban sekaligus khazanah pembelajaran terus menerus, seperti khittah pemikiran guru bangsa kita, Ki Hajar Dewantoro
Mesti demikian, walau tak memungkiri hal itu sulit terwujud ditengah kapitalisme yang kadung menjadi nafas kekuasaan. disamping terlalu enjoynya insan-insan pendidikan kita untuk terus mengungkung diri pada zona nyaman, yang tak sedikit hal tersebut membuat insan-insan pendidikan ogah untuk sedikit berpuasa dan menengok kembali khittah pendidikan kita. Ditambah, desakan kuat hedonisme nasional akibat terlalu dimanjakannya golongan fungsional negara (dalam hal ini PNS) dalam setiap kebijakan penganggaran di Republik ini.
Namun sebagai Pemuda, saya masih berharap bahwa pelita bangsa ini adalah dunia pendidikan, dan semoga dunia pendidikan senantiasa tetap bersinar layaknya bintang di langit gelap. namun dengan satu syarat, siapapun kita sebagai orang-orang yang pernah dibesarkan oleh bangku sekolah, bersama-sama mengembalikan sekolah sebagai milik masyarakat, menjadikannya sebagai sarana mengasah dan merangsang potensi-potensi kemakhlukan manusia untuk terus membaca jawaban-jawaban Tuhan, serta untuk membangun peradaban kehidupan berbangsa yang mendekati Cahaya Ketuhanan.
Semoga…
Belum ada tanggapan untuk "Wahai Sekolah, tetaplah dirimu menjadi Lentera kehidupan..."
Post a Comment